Penerbangan dari Osaka (RJBB) ke Narita (RJAA)Get-there-itis adalah salah satu hal yang dapat menjangkiti penerbang dan resiko jika terjangkit get-there-itis ini adalah fatal. Selama ini saya tahu tentang teori hal ini tapi belum menyadari pentingnya menghindari get-there-itis ini sampai saya sendiri terjangkit dan merasakan bahayanya.

Bulan Juni 2011, saya terbang dari bandar udara Kansai Osaka menuju Narita Tokyo di Jepang dan kemudian setelah turn-around sekitar 1 jam 50 menit kami akan kembali ke Osaka. Ini adalah penerbangan saya yang pertama ke Narita. Sebelumnya saya belum pernah datang ke bandar udara ini. Dua hari sebelumnya saya sudah membaca tentang rute dan prosedur yang ada di Narita. Pada hari H, saya berjumpa dengan first officer berkebangsaan Austria yang akan terbang bersama saya. Setelah saya mengobrol dengannya ternyata dia juga belum pernah ke Narita.

Kami membuat persetujuan bahwa saya akan terbang ke sana sebagai pilot flying (PF) sedangkan first officer akan menjadi Pilot Non Flying (PNF) dan pada penerbangan kembali ke Osaka dia akan menjadi PF. Cuaca cukup jelek karena banyaknya awan hujan di sekitar Osaka tapi kami mendapatkan bahwa laporan menunjukkan cuaca di Narita cukup baik.

Proses take off dari Osaka sangat lancar, dan pada ketinggian jelajah kami berdiskusi tentang prosedur di Narita yang telah saya baca dan mencocokkannya dengan yang sudah dia baca.

Sebelum turun dari ketinggian jelajah saya memberi briefing pada first officer dengan membaca approach chart (peta penerbangan untuk mendarat), konfigurasi flap yang saya inginkan, konfigurasi radio navigasi, kemungkinan prosedur taxi (pergerakan pesawat di darat) sampai pesawat tiba di tempat parkirnya. Semuanya mulus dan lancar, sepertinya segalanya cukup mudah.

Turun melewati 10 ribu kaki, kami mulai sibuk mengikuti perintah ATC yang beraksen Jepang sangat kental, kadang kami minta instruksi diulang karena kami tidak biasa mendengar aksen ini tapi prosedur yang diberikan cukup mudah karena tidak berbeda dengan rute yang tergambar di chart. Karena padatnya lalu lintas udara yang datang dan pergi, kami mulai dipandu oleh ATC dengan radarnya. ATC sudah mulai tidak mengikuti rute di chartsehingga konsentrasi kami hanya pada menerbangkan pesawat dan mendengarkan perintah ATC.

Melewati 8000 kaki, tiba-tiba terdengar bel dari flight warning computer, BING!.. Di pesawat Airbus A330 yang cukup canggih pada saat ini, jika ada masalah pada sistem pesawat maka akan ada suara peringatan dan prosedur yang harus dijalankan ditampilkan oleh komputer di layar ECAM (Electronic Centralised Aircraft Monitor) yang ada di kokpit. Biasanya jika ada masalah maka PF akan memberikan instruksi, "ECAM action" artinya saya sebagai PF akan menerbangkan pesawat dan first officer sebagai PNF akan mengerjakan prosedur yang ada di layar ECAM.

Saya kaget karena tampilan layar PFD (Primary Flight Display) yang merupakan instrumen utama untuk menerbangkan pesawat dan juga layar ND (Navigation Display) yang berisi informasi navigasi di depan saya tiba-tiba menjadi blank, kosong, saya tidak bisa menerbangkan pesawat ini! Saya lihat layar PFD dan ND di depan sang first officer masih bekerja dengan baik, maka saya langsung memberi perintah agar dia yang menerbangkan pesawat, "You have control!". Posisi sekarang berbalik, saya harus mengerjakan prosedur yang ada di ECAM. Ternyata tidak ada prosedur yang tampil di layar ECAM, yang ada adalah tulisan "IRS 1 Fault. Refer to QRH procedure". QRH adalah Quick Reference Handbook, yaitu buku yang berisi prosedur darurat.

 

PFD saya menjadi blank

Saya buka QRH dan mencoba mencari prosedur yang sesuai dengan masalah saya. Di saat yang sama terdengar ATC memberikan instruksi "Maskapai 802, turn left heading 340 for downwind".. Waduh... pesawat sudah hampir mendarat dan saya belum selesai mengerjakan prosedur. Akhirnya prosedurnya saya temukan dan saya mengerjakan semua yang tertulis di buku QRH dengan agak terburu-buru. Prosedur yang saya jalankan tidak berhasil. Dengan pengalaman yang cukup lama di tipe pesawat ini, secara reflek saya mengubah beberapa konfigurasi sistem. Voila!... Tampilan saya kembali normal dan sempat terpikir oleh saya untuk meminta first officer melihat kembali prosedur yang telah saya kerjakan. Tapi pesawat makin dekat dengan landasan, kami sudah mendekati 4000 kaki. Akhirnya saya hanya membuka QRH dan memperlihatkan halaman yang saya kerjakan pada first officer dan dia menyetujui langkah yang saya ambil. Ada sesuatu yang mengganjal di hati saya....

"I have control!", saya memberikan perintah dengan lega untuk menyatakan bahwa sekarang saya yang menerbangkan pesawat. Kami meneruskan approach dan mendarat dengan mulus di landas pacu 16R.

Setelah sampai di tempat parkir dan menurunkan penumpang, saya membuka kembali QRH dan membaca prosedur yang telah saya jalankan. Booom!! serasa ada bom meledak di kepala saya. Saya tidak mengerjakan prosedur dengan benar. Ada langkah-langkah yang terlewati! Ada checklist lain yang harusnya saya jalankan dengan membaca tapi kenyataannya saya jalankan dengan reflek saja. Akibat dari melewatkan prosedur ini cukup beresiko besar. Apakah ini kesalahan fatal saya? Tidak, kesalahan fatal saya adalah tidak memberi kesempatan pada first officer untuk memeriksa prosedur yang saya jalankan. Gunanya dua orang pilot dalam satu kokpit adalah untuk mengurangi resiko kesalahan yang saya lakukan. Saya telah terburu-buru dan berpikiran harus mendarat secepatnya agar lepas dari masalah yang ada. Saya harus bersyukur bahwa masalah yang tidak saya selesaikan dengan benar tidak membawa saya ke dunia lain......

Get-there-itis

Nama lain dari penyakit ini adalah get-home-itis atau lets-go-itis. Keinginan untuk segera pulang, segera menyelesaikan penerbangan, segera mendarat, atau sebaliknya, ingin segera pergi, terbang, lepas landas, dapat mengurangi kewaspadaan seorang penerbang. Kombinasi fatal biasanya adalah 2 hal: get-there-itis dan cuaca buruk. 

Contoh kasus lain adalah seorang penerbang yang baru saja terbang solo dengan sebuah Cessna 172, menyalakan mesin, taxi dan take off. Pada saat take off dengan tiba-tiba mesin pesawatnya mati. Untunglah landasan yang tersisa masih panjang dan dia berhasil mendaratkan pesawatnya dengan selamat. Pada waktu pesawatnya diperiksa oleh teknisi, didapati bahwa fuel selector di pesawat masih dalam posisi OFF. Rasa senang dan tak sabar ingin terbang solo bisa jadi membuat dia melewatkan checklist untuk memindahkan fuel selector dari OFF ke posisi On (Left/Right/Both di pesawat Cessna 172).

Untuk penerbang profesional waspadalah jika anda akan cuti keesokan harinya dan hari ini akan melakukan penerbangan panjang. Keinginan untuk cepat-cepat menyelesaikan penerbangan hari ini adalah gejala lets-go-and-finish-itis, nama lain dari penyakit ini. Begitu pula jika kita harus menghadiri sebuah acara setelah menyelesaikan sebuah penerbangan. Ketakutan tanpa sadar bahwa akan terjadi delay bisa membuat get-there-itis. Pada beberapa kecelakaan terkenal seperti Fokker F28 di Ontario pada tahun 1989, konon seharusnya pilot in command akan mulai cuti pada keesokan harinya.


Kesalahan yang dilakukan penerbang pada saat terjadi get-there-itis antara lain:
  • duck under syndrome: turun dari minimum altitude (MDA/DA/DH) pada waktu melakukan approach padahal runway not insight.
  • scud running: terbang dengan berpatokan pada daratan pada waktu IFR dan IMC.
  • Inadvertent VFR flight into IMC: masuk ke IMC pada waktu melakukan penerbangan VFR.
  • Neglect of Flight Planning, Preflight Inspections, and Checklists: Tidak melakukan flight planning, tidak melakukan pre-flight inspection dengan benar (kasus penerbang Cessna 172), tidak melakukan checklist dengan benar (kasus saya)

Cara-cara menanggulangi jika terjangkit get-there-itis, bisa dibaca di artikel-artikel dengan judul Aeronautical Decision Making di bagian Teori Penerbangan di website ilmuterbang.com.