Pekan ini kami mendapat 2 email dari pembaca www.ilmuterbang.com tentang sekolah penerbang di Indonesia. Satu berasal dari seorang siswa penerbang di salah satu sekolah penerbangan swasta di Lanud Halim, Jakarta. Sedangkan satu lagi dari seorang yang ingin menjadi pilot helikopter.

 
Image
Penggunaan transponder dan TCAS/PCAS dapat menambah kapasitas area training

Email pertama adalah sebagai berikut: 

This is an enquiry e-mail via http://ilmuterbang.com from:
xxxx <xxxAlamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.>

saya sekarang terdaftar sebagai siswa x flying school dan saya ingin berbagi info tentang kondisi sekolah saya, dan mudah -mudahan dapat memberikan info bagi calon siswa. saat ini saya sudah menjalani pendidikan selama 1 tahun dan jam terbang saya baru 5 jam terbang, hal ini diakibatkan banyaknya persoalan yang ada di x flying school diantaranya jumlah siswa dengan jumlah pesawat tidak sebanding jumlah siswa 80 dan jumlah pesawat 5 jenis C-172 dan jumlah instruktur 6 orang 3diantaranya freelance instuktur, kendala lain adalah cuaca sering HZ (-Hazy, berkabut, jarak pandang terbatas, -admin) dan jarak pandang dibawah 5 km, kendala lain terbatasnya training area kami, kami menggunakan training area di sekitar Atang Sanjaya Bogor dan kami harus berbagi training area dengan flying school yang menggunakan area yang sama, kendala lain adalah kepadatan trafic di Halim sering kali Halim ditutup untuk kepentingan VIP ( NOTAM ),demikian kendala yang saya hadapi dalam menjalankan traning semoga dapat menjadi informasi bagi calon siswa yang membaca website ini. Terima kasih

Email di atas mengingatkan penulis pada kondisi sekitar tahun 1995, pada waktu penulis menjadi anggota salah satu klub penerbangan di Jakarta. Dengan kondisi yang sama penulis hanya mendapat kesempatan terbang 1 jam setiap bulan. Bandingkan dengan pada waktu penulis menjalani pendidikan penerbang di Texas, USA, dimana penulis menyelesaikan 250 jam terbang hanya dalam waktu 4 bulan. Sehingga rata-rata penulis terbang di sana lebih dari 60 jam setiap bulan. FYI, penulis pergi ke USA karena biaya sekolah yang tidak sampai 50% dibandingkan dengan biaya sekolah penerbang di Indonesia.

Lebih dari 13 tahun telah berlalu. Belum ada kemajuan dalam sistem penerbangan Indonesia. Apa yang bisa kita (baca – pemerintah dan sekolah penerbangan) perbuat? Dari pada hanya kritik, mari kita bahas kemungkinan penyelesaiannya. Di bawah ini penulis akan membuat perbandingan cara kerja sekolah penerbangan di Indonesia dan sekolah penerbangan yang penulis ikuti di USA (selanjutnya disebut sekolah Y).

Utilisasi pesawat

5 Pesawat untuk 80 siswa? Sebenarnya tidak masalah.

Lepas dari ketersediaan area training yang akan dibahas setelah ini, pemanfaatan pesawat di sekolah Indonesia sangat rendah.Satu saat penulis ikut terbang dengan seseorang di sekolah penerbangan yang sudah tutup yaitu Avindo, penulis mendapatkan informasi bahwa training hanya dilakukan pada hari Senin sampai Jum'at. Biarpun saat itu, Avindo menyelenggarakan weekenders program dimana setiap orang, siapa saja, bisa menyewa pesawat untuk akhir minggu dan hari libur, kenyataannya setiap akhir minggu pesawat hanya digunakan 1-2 jam saja. Tidak hanya itu, pesawat mulai terbang pukul 6-8 pagi, berakhir pada pukul 16 atau 17 sore. Bandingkan dengan sekolah di USA yang memulai aktifitasnya pukul 5 pagi dan selesai pada pukul 11 malam. Senin sampai Minggu, 365 hari setahun.

Jika kita mengambil 1 jam sebagai jatah waktu untuk setiap siswa dan 30 menit sebagai waktu pergantian antar siswa untuk menggunakan pesawat, maka dalam satu hari pukul 6 sampai 18 ada 12 jam yang dibagi 1.5 jam setiap sorti. Perhitungan ini menghasilkan 8 sorti penerbangan bisa dilakukan dalam satu hari. Di sekolah Y, mulai pukul 5 sampai 11 malam, ada 18 jam dibagi 1.5 jam, hasilnya adalah 12 sorti penerbangan dalam 1 hari.

Memang, training untuk lisensi PPL hanya boleh dilakukan sesudah matahari terbit dan sebelum matahari terbenam (untuk di Indonesia pukul 6 sampai pukul 18). Tapi siswa yang sudah berada di tahap instrument rating (IR) bisa melakukan penerbangan di malam hari atau pagi-pagi buta. Mengenai PPL dan IR dapat anda baca di Panduan Menjadi Pilot di bagian menu Blog.

Instruktur/ Pembina
 
Sekolah x di atas mempunyai 80 siswa dengan total 6 instruktur. Jadi 1 instruktur membawahi 13 orang. Dengan 125 siswa (75 dari Indonesia) sekolah Y di USA membatasi maksimum 4 siswa untuk 1 instruktur, dan hampir semuanya freelance kecuali chief instruktur! Siswa di sekolah Y pun dapat meminta untuk mengganti instruktur jika instrukturnya tidak mampu memberikan pengajaran dengan baik, sehingga instrukturpun terpicu untuk menjadi profesional. Apakah kita kekurangan instruktur? Jawabannya ya dan tidak. YA, karena susah untuk mendapatkan training untuk menjadi instruktur penerbang di Indonesia, kalaupun ada, informasinya terbatas. Untuk itu, kami mohon semua institusi penerbangan di Indonesia untuk memberi informasi pada kami di ilmuterbang.com jika ada pembukaan pendidikan instruktur penerbangan, agar dapat disebarluaskan dengan cepat. Jika kendala pendidikan instruktur sudah diatasi maka jawaban pertanyaan di atas adalah TIDAK.
 
Keterbatasan area pelatihan/training.
Dahulu ada Juanda Flying School di Surabaya, tapi sekarang, semua sekolah penerbangan ada di kawasan Jabotabek (daftar sekolah penerbangan ada di bawah menu Link). Dengan kondisi ini, semua sekolah harus berbagi area untuk training.
 
Biasanya ATC memberikan batasan jumlah pesawat yang ada di satu area. Misalnya, daerah Cibinong, 1 pesawat akan diberi ijin untuk melakukan latihan di ketinggian 1000 kaki, dan satu pesawat di 3000 kaki. Dengan cara ini, biasanya maksimum hanya ada 2-3 pesawat di satu area. Bagaimana solusinya?
 
Ada satu alat yang bernama transponder. Alat ini mengirimkan data posisi dan ketinggian kepada radar ATC. Dengan perkembangan teknologi, ditemukan alat baru yang bernama TCAS (Traffic Collision Avoidance System) yang dapat dipasang di pesawat. Dengan TCAS ini, posisi pesawat lain yang memakai transponder dapat terlihat. Sehingga dalam kondisi jarak pandang yang minim pun, posisi pesawat dapat terpantau oleh radar ATC dan pesawat yang ada di sekitarnya.
 
Alat TCAS ini memang cukup mahal (sampai dengan 230 ribu USD) sehingga hanya dipasang pada pesawat komersial saja, tapi dengan kemajuan teknologi dan pemakaiannya yang makin umum, harganya semakin murah. Lengkap dengan transponder saat ini harganya berkisar 10 ribu USD. Bahkan sudah ada PCAS (Portable Collision Avoidance System) yang harganya di bawah 500 USD. Untuk referensi silahkan cari di Google, Wikipedia atau Yahoo dengan kata cari: portable tcas.

Sekilas memang terlihat mahal, tapi dengan keuntungan jumlah utilisasi/ pemakaian pesawat yang tinggi, maka investasi oleh sekolah penerbangan akan kembali dengan lebih cepat. Tapi hal ini tentunya harus dibarengi dengan profesionalisme yang tinggi dari petugas ATC. Karena kemampuan dan kelancaran alat radar dari ATC juga berpengaruh pada kesuksesan penggunaan TCAS dan transponder.

Solusi lain yang paling mudah dan lebih murah saat ini adalah membuka sekolah penerbangan baru di daerah lain atau membuka secara resmi untuk training beberapa Lanud TNI. Dengan cara ini program bina potensi dirgantara yang sudah dilakukan oleh TNI AU akan lebih terasa manfaatnya. Utilisasi bandara Budiharto di Tanggerang sebagai pusat pelatihan penerbangan juga dapat dilakukan, sehingga kepadatan Lanud Halim Perdana Kusumah dapat dikurangi.
 

Sekolah penerbang helikopter 

Berikut email dari seorang pembaca:

This is an enquiry e-mail via http://ilmuterbang.com from: Muhammad Ierfan Prasetia <Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.>
> Assalamualaikum
>
> Kepada yg terhormat bapak/ibu di tempat.
> Saya ingin informasi yang sejelas2 nya ttg keingina saya utk menjadi pilot helicopter/copper. yang ingin saya tanyakan adalah:
> - adakah kriteria khusus (spt,jrsn ipa,tinggi badan/beratbadan,dll)
> -adakah sekolah trsbt di indonesia
> -jika ada, berapa estimasi biaya yang diperlukan
> Terima kasih atas kesediaan bapak/ibu utk memberikan informasi kepada saya.
> Wass..

Menurut majalah angkasa bulan Maret 2007, disebutkan bahwa sejak tahun 1987 STPI Curug sudah tidak lagi memberikan pelatihan untuk calon penerbang helikopter, sehingga saat ini satu-satunya cara menjadi pilot helikopter adalah melalui sekolah militer. Pilihan lain adalah mencari sekolah penerbang helikopter di luar negeri. Hal ini sangat disayangkan karena tingginya permintaan akan penerbang helikopter terutama di luar negeri.

Di dalam negeri sendiri, dengan kepulauan dan pegunungan, seharusnya penerbangan helikopter menjadi populer. Tapi kenyataannya adalah sebaliknya.

Kembali ke pertanyaan di atas, tidak ada kriteria khusus, semua syarat menjadi pilot baik pesawat maupun helikopter adalah sama.Silahkan lihat Panduan Menjadi Penerbang di www.ilmuterbang.com di bawah menu Blog - Menjadi Penerbang.

Untuk sekolah dan biayanya, silahkan cari dengan search engine Yahoo atau google dengan kata kunci: helicopter flight school atau helicopter training atau helicopter flying school dengan ditambah negara yang anda tuju.
Contoh: Helicopter flight school new zealand

Anda juga bisa lihat di www.bestaviation.net untuk mencari sekolah di negara-negara lain.

Negara yang mempunyai training penerbangan yang cukup bermutu adalah New Zealand, Australia, USA, dan UK