Selama ini kita sering mendengar atau mengalami sendiri saat terbang bersama sebuah maskapai penerbangan tentang bagaimana sebuah pesawat yang sedang terbang berupaya turun dari ketinggian jelajah dan kemudian mencoba mendekati bandar udara (airport) tujuan untuk melakukan pendaratan, dalam hal ini disebut approach. Dalam upaya tersebut, pilot akan melakukan pendaratan (landing) dengan beberapa metode yang selama ini umum dilakukan, misalnya dengan cara visual atau dengan mengandalkan pandangan mata. Cara ini hanya dapat dilakukan oleh penerbang apabila jarak pandang (visibility) yang dibutuhkan cukup memadai dan tentunya dalam kondisi cuaca yang sangat baik. Situasi seperti ini disebut Visual Meteorological Conditions (VMC).

Namun dalam kondisi tertentu, misalnya saat melakukan pendaratan di malam hari, atau saat langit berkabut tebal, awan dan hujan yang cukup deras, atau misalnya udara disekitar bandara sedang dilanda kabut asap yang cukup tebal akibat kebakaran hutan, maka situasi yang demikian ini digolongkan menjadi Instrument Meteorological Conditions (IMC), di mana untuk mendaratkan pesawat dalam kondisi seperti ini pilot harus mengandalkan instrument atau alat pandu navigasi pendaratan. Instrument atau alat pandu pendaratan elektronik yang terpasang pada landasan (runway) akan memandu pilot membawa pesawat mendekati ujung landasan hingga kemudian pesawat dapat mendarat dengan aman meski dalam kegelapan sekalipun. Pada umumnya, banyak airport di seluruh dunia telah menggunakan alat pandu pendaratan elektronik yang umum dikenal dengan sebutan Instrument Landing System atau ILS.

(Gambar 1) Panduan Pendaratan ILS 

Perangkat Instrument Landing System atau ILS dirancang untuk memandu pesawat agar dapat melakukan pendaratan secara elektronik yang prosesnya dimulai dari jarak tertentu sebelum pesawat mencapai ujung landasan. Saat alat penerima di pesawat (receiver) mulai menangkap sinyal electromagnetic yang dipancarkan oleh transmitter yang ditempatkan pada landasan, sistim kendali elektronik yang terdapat pada pesawat akan memandu arah pesawat untuk terbang secara otomatis tepat dan sejajar dengan landasan (runway), proses ini disebut panduan lateral (localizer). Dan pada jarak tertentu pula, pesawat akan dipandu turun dari ketinggian menuju ke ujung landasan, proses ini disebut panduan vertical (glidepath). Saat pesawat telah mencapai jarak yang sangat dekat dengan ujung landasan, dan ketika kondisi dan jarak pandang terhadap landasan dianggap telah mencukupi, serta ketinggian pesawat terhadap landasan telah memenuhi syarat untuk mendarat (decision height), umumnya pilot akan mengambil alih kendali pendaratan untuk secara manual mendaratkan pesawat hingga roda-roda pendarat menyentuh landasan. Demikian Instrument Landing System atau ILS bekerja memandu pesawat untuk dapat mendarat dengan aman meski dalam kondisi yang gelap dan jarak pandang yang sangat minim.

Nah, anda telah memahami bagaimana alat pandu pendaratan yang disebut Instrument Landing System atau ILS bekerja memandu pesawat agar dapat mendarat dengan aman di sebuah bandar udara. Sejak perangkat ini diciptakan dan diterapkan pada tahun 1929 lalu, tanpa disadari, sudah lebih dari 80 tahun alat ini menjadi standar yang digunakan di hampir seluruh bandar udara di dunia. Dan sekarang, alat pandu pendaratan semacam ini akan segera digantikan oleh alat pandu pendaratan terbaru yang disebut GNSS Landing System atau GLS.

Pada era 1960an, pihak militer Amerika Serikat untuk pertama kali membangun alat pandu navigasi berbasis satelit yang disebut Global Navigation Satellite System atau GNSS, di mana sistim ini kemudian mulai digunakan secara luas untuk keperluan sipil, misalnya untuk penggunaan alat pandu navigasi yang dikenal dengan Global Positioning System atau GPS. Di masa sekarang, perangkat GPS bahkan sudah banyak yang ditanamkan ke dalam perangkat telepon selular yang umum digunakan untuk ber-navigasi dalam aktivitas sehari-hari.

Lebih dari itu, alat pandu navigasi berbasis satelit ini telah pula dimanfaatkan secara luas di dalam dunia penerbangan sipil, di mana panduan satelit dianggap memiliki akurasi yang cukup tinggi untuk dapat memandu pilot menerbangkan pesawat dengan tepat sebagaimana yang diharapkan. Dan kemampuan pesawat untuk terbang secara akurat pada alur yang diharapkan disebut Required Navigation Performance (RNP), satu kondisi di mana pesawat mendapat panduan satelit untuk terbang dari satu bandar udara ke bandar udara lainnya dengan tepat.

Selain dimanfaatkan untuk keperluan navigasi udara, panduan satelit pun kini semakin diperluas manfaatnya, khususnya untuk memandu pesawat mendekati bandar udara (approach) serta memandu pesawat dalam melakukan pendaratan (landing), di mana sebelumnya proses ini dilakukan menggunakan perangkat pandu pendaratan yang disebut Instrument Landing System (ILS). Namun setelah sekian lama digunakan dalam dunia penerbangan, dan seiring semakin pesatnya perkembangan teknologi navigasi satelit, penggunaan ILS mulai dianggap memiliki banyak kekurangan, sebab biaya yang dibutuhkan untuk menyediakannya sangat mahal. Besarnya biaya yang dibutuhkan disebabkan setiap landasan (runway) harus terpasang 1 unit perangkat ILS, artinya, jika sebuah bandar udara (airport) memiliki 4 buah landasan, maka bandar udara tersebut setidaknya harus meng-instalasi 4 buah perangkat ILS pada masing-masing landasan-nya.

Berbeda dengan cara kerja perangkat ILS, dalam perkembangan terakhir, pemanfaatan data satelit navigasi mulai digunakan dalam rancangan terbaru sistim pemandu pendaratan alternatif selain ILS. Pada tahun 1995, sistim panduan navigasi berbasis satelit yang disebut GNSS Landing System atau GLS mulai diterapkan secara penuh pada beberapa bandar udara (airport) seperti yang digunakan pada Grant County International Airport (KMWH) di Amerika Serikat. Perangkat pandu pendaratan yang berbasis di darat ini kemudian disebut Ground-Based Augmentation System (GBAS).

Ground-Based Augmentation System (GBAS)

Bagaimana alat pandu pendaratan GNSS Landing System atau GLS bekerja? Untuk menjalankan sistim panduan navigasi berbasis satelit (GPS), sebuah sistim terpadu terlebih dahulu dibangun di area bandar udara (airport) yang disebut Ground-Based Augmentation System (GBAS). Unit GBAS ini sebenarnya merupakan rangkaian perangkat terpadu yang terdiri dari beberapa perlengkapan yang ter-instalasi di darat, diantaranya adalah Antena GPS, Processing Unit, Approach Database dan VHF Datalink Transmitter. Semua perangkat tersebut akan terkoneksi menjadi satu unit kerja yang bertugas mengolah data dari satelit dan data yang tersedia darat. Maka dengan hanya menyediakan satu unit saja, GBAS sudah dapat melayani panduan approach dan landing untuk seluruh landasan (runway) yang tersedia pada sebuah bandar udara, terlebih untuk bandar udara yang memiliki banyak landasan (multi runway).

Untuk melayani setiap approach dan landing, sebagaimana satelit GNSS mengirim data ke permukaan bumi, beberapa antena GPS yang telah terpasang di area bandar udara (airport) mulai menerima data berupa posisi dan orientasi dari sejumlah satelit yang mengorbit bumi. Untuk menjalankan sistim ini, maka dibutuhkan minimum dua buah antena GPS atau lebih banyak lagi untuk mengatasi kondisi padatnya data lalulintas udara. Data satelit yang diterima melalui sejumlah Antena GPS yang ditempatkan di sekitar landasan kemudian diteruskan ke Processing Unit yang bertugas melakukan kalkulasi dan koreksi jika terdapat kesalahan (error). Pada fase berikutnya, data yang telah diterima dari satelit berupa; posisi, orientasi, runway serta panduan lateral dan vertical yang sebelumnya telah diproses dan dikoreksi, kemudian data tersebut akan disimpan di dalam Approach Database. Selanjutnya data-data tersebut diteruskan ke stasiun pemancar VHF Datalink untuk dipancarkan ke udara dalam radius lebih kurang 30Km di area bandar udara (airport area). Sinyal VHF yang dipancarkan tersebut kemudian diterima oleh receiver yang ada di pesawat sesaat sebelum melakukan pendaratan.

(Gambar 2) Jaringan terpadu GBAS berbasis di darat

Untuk dapat melakukan prosedur approach dan landing menggunakan panduan GLS, tentunya pesawat juga harus dilengkapi dengan alat penerima (receiver) yang dirancang khusus untuk dapat memproses data-data yang diterima dari satelit dan data dari stasiun GBAS yang berada di darat. Pada fase ini, informasi berupa approach path dan runway kemudian dikirim dan diolah pada Flight Management System (FMS). Hasil akhir dari proses ini adalah aktifnya sistim kendali elektronik yang akan membawa, mengarahkan dan memandu pesawat sesuai dengan alur pendaratan (approach path) yang telah direncanakan atau yang telah dikonfirmasi oleh Pemandu Lalulintas Udara atau ATC.

Dalam pengembangan-nya, teknologi GBAS terkini sudah mampu mendukung panduan navigasi dengan akurasi yang sangat tinggi, di mana tingkat kesalahan navigasi lateral dan vertical hanya kurang dari 1 meter. Selain itu instrument GBAS juga sudah dapat menyamai Kategori I (GBAS-CAT I) untuk prosedur pendaratan dengan jarak pandang rendah (low visibility). (catatan: bagi anda yang belum memahami standar yang terkait Kategori atau CAT yang berlaku dalam dunia penerbangan, informasi selengkapnya tentang instrument pemandu pendaratan silahkan merujuk ke: http://en.wikipedia.org/wiki/Instrument_landing_system)

Sementara dalam pengembangan selanjutnya, sistim panduan navigasi GBAS kini tengah menjalani pengujian untuk Kategori II dan III (GBAS-CAT II, III) di mana nantinya sistim terbaru ini akan mulai diterapkan pada tahun 2015 mendatang, khususnya di wilayah penerbangan Uni Eropa yang diawasi oleh Eurocontrol.

 

Multi Mode Receiver (MMR)

Pada tahap awal pengujian yang dimulai sejak tahun 2004, industri pesawat Boeing telah mencoba menerapkan Aircraft-Based Augmentation System (ABAS) di mana sejumlah pesawat-nya telah dilengkapi dengan perangkat Multi Mode Receiver (MMR) yang dibutuhkan untuk menerima data satelit dan data dari perangkat GBAS yang berada di darat. Dengan adanya kelengkapan MMR, maka pesawat sudah dapat melakukan prosedur approach dan landing menggunakan panduan GLS, selain tetap dapat melakukan prosedur pendaratan menggunakan ILS.

(Gambar 3) Radio Navigasi dengan Multi Mode Receiver

Sebagaimana tampak pada gambar panel radio navigasi (NAV) yang terdapat pada pesawat Boeing 737NG, pada layar display tertera dua pilihan approach mode, yaitu GLS dan ILS yang disertai tampilan frequensi radio untuk masing-masing pilihan mode. Maka dengan adanya kelengkapan Multi Mode Receiver (MMR) pada pesawat yang sudah disertifikasi, para penerbang sudah dapat melakukan prosedur approach dan landing dengan panduan GLS pada airport-airport yang telah meng-instalasi perangkat Ground-Based Augmentation System (GBAS). Akan tetapi saat ini hanya beberapa bandar udara tertentu saja yang telah menyediakan fasilitas GLS sebagai instrument pemandu pendaratan pesawat.

(Gambar 4) Tampilan Layar FMC

Dari dalam cockpit, pada layar Flight Management Computer (FMC) tepatnya pada halaman Arrival Page, tampak beberapa pilihan runway yang dapat digunakan oleh pilot untuk mendaratkan pesawat dengan panduan GLS, dalam hal ini landasan yang menjadi pilihan adalah runway 32L dan 32R yang terdapat pada Grant County International Airport (KMWH). Informasi runway sebagaimana yang ditampilkan pada layar FMC tersebut merupakan data yang diterima dari sistim GBAS yang berada di darat.

(Gambar 5) Primary Flight Display dengan GLS

Selanjutnya, pada layar monitor
Primary Flight Display (PFD), tampak posisi pesawat sedang melakukan approach dan landing menggunakan prosedur GLS. Tanda lingkaran yang diberi warna kuning pada gambar, tampak dua buah titik magenta yang merupakan indikator untuk mengetahui pergerakan lateral (pada sistim ILS disebut localizer atau LOC), dan pergerakan vertical (pada sistim ILS disebut glide slope atau GS). Nah, dengan memanfaatkan teknologi satelit, kini semuanya menjadi semakin mudah bukan?

 

Referensi: http://www.ecacnav.com/content.asp?CatID=267