Sepenggal cerita "perjuangan" menerbangkan pesawat swayasa untuk mengantarkan bantuan ke korban tsunami di Aceh.

Tanggal 17 April 2005 jam 04.00 Pd Cabe masih gelap saat sampai di hanggar swayasa, saya sudah ditunggu oleh Sugeng dan Wawan. Kemudian datang juga Junaedi yang akan ikut dalam penerbangan kali ini, kali pertama untuk dia terbang dan langsung dengan swayasa. Saya dan Faisal mem-brief dia menandatangani surat kontrak persetujuan karena penerbangan ini adalah volunteer flight. Semua resiko ditanggung sendiri dan dibuktikan dengan pernyataan semua yang ikut dalam pesawat, briefing ini termasuk saran untuk pemenuhan kebutuhan “biologis” yang harus dibuang karena penerbangan ini tanpa kamar kecil.

Setelah subuh semua bersiap dengan peralatan masing-masing, kedua penerbang didepan menggunakan life vest punya Pak Phillip. Tidak lama datang Pak Phillip dan ia mengkhawatirkan masalah CG, untung saja ternyata semua within limit, hanya saja J400 belum pernah membawa beban seberat kali ini. Saya membawa flight gear lengkap dan pakaian selama di NAD, sedangkan Jun dengan pesanan sepatu dan oleh-oleh lain dari Bandung untuk sanak dan sesama relawan rupanya.

Bahan bakar diisi penuh dan Pak Phillip ikut mengatur penempatan barang supaya masuk CG yang ditentukan. Kemudian pesawat didorong ke atas karena matahari sudah naik tanda dapat memenuhi day VFR, Pak Phillip mengajak semua berdoa untuk keselamatan penerbangan ini dipimpin oleh Ret “Aki”. Setelah penumpang sudah naik dan sudah OK maka clear the prop! saya memutar propeller dan perlahan taxi ke runway 18, setelah pak Mardiyoto menyatakan clear maka throttle opened dan airborne!

Di depan tampak Curug tak lama setelah lift off, trainning cukup sibuk disana dan saya harus memperhatikan traffic sekitar area latih mereka. Tapi tak lama kita tinggalkan area itu dengan groundspeed sekitar 97-100 knot. Angin cukup bersahabat dari belakang, visibility lebih dari 20 km, kemudian Balaraja, Serang terlihat dan cukup cepat dilewati. Pelabuhan Merak berganti menjadi pemandangan yang cantik di depan, Faisal cukup sibuk berkomunikasi baik dengan Jakarta Radio, maupun teman wanitanya sepanjang penerbangan.

Penumpang di belakang sangat sibuk dengan istirahatnya ditumpukan barang-barang ajimatnya karena baru saja sampai dari Bandung, dan langsung bergabung dengan J400. Saya mengarahkan pesawat ke selat Sunda dan mencari point to point dermaga Merak-Bakauheni sesuai permintaan Faisal (bener kan, Di?) ketinggian diatas 5000 feet. Hal ini untuk berjaga jika terjadi engine failed maka kita masih bisa glide ke shore line. Kata Faisal walau bisa berenang ia takut digremetin ikan. Kemudian Lampung waway (indah) terlihat, Sang Bumi Khuwa Jurai ini sangat indah dengan bentuk teluk teluknya.

Kami menyusuri pantai Lampung Timur dan cuaca dalam keadaan sangat cerah, walaupun terlihat jelas banjir menggenangi areal perkebunan dan pertanian. Kali ini traffic benar-benar sepi menurut informasi dari Radin Inten II, tampaknya hanya kami saat itu yang berada di Lampung Timur. Setelah Radin Inten tidak terpantau lagi maka kami berganti frekuensi ke Palembang Approach yang walau samar-samar indah terdengar.

Dolta dan Domil intersection kami lewati masih pada cuaca yang sangat cerah, tidak ada bumpy sedikitpun kami alami. Setelah masuk Sumatera Selatan jarak pandang sedikit lebih pendek dari Lampung, tapi masih sangat jelas dan tenang. Sedangkan penumpang baru bangun tidur, sedikit excited dan bergoyang-goyang ala tari Saman di belakang, kami masuk via overhead kantor walikota dan rumah saya saat SMA dulu di jalan Merdeka, Palembang.

Kami mendarat di runway 29 Sultan Mahmud Badaruddin II yang cukup lebar sehingga pesawat Jabiru terkesan bagai kutu terbang (komentar pilot Garuda), langsung di parkir di Base Ops Lanud. Disambut oleh perwira operasi Lanud kami dijamu snack dan minum sementara pesawat refueling. Faisal mengambil data radar cuaca di Briefing Office untuk leg kami berikutnya ke Sultan Syarif Kassim. With a proper goodbye anggota Lanud melepas kami di apron, leg ini harus cepat diselesaikan karena kami tidak ingin sampai di Pekanbaru malam hari (experimental boo). Waktu menunjukkan sekitar pukul 13.00 awan sudah mulai built up, tampaknya kali ini penerbangan harus zigzag menghindari awan yang cukup tinggi. Untungnya visibility masih sangat baik walau awan disana sini, sehingga saya masih confidence menerbangkan leg ini.

Kami meninggalkan frekuensi Palembang Approach dan pindah ke Taha, walaupun beberapa kali di relay oleh pesawat besar yang sedang tune-in. Thank you fella, so torang seng lost contact. Cuaca saat itu masih sama dengan sekitar Palembang dan saya tetap harus zigzag agar tetap VMC. Jambi bagian utara sudah mulai diselimuti asap tebal “hasil karya” perusahaan penebangan, demikian pula Riau, bahkan semakin pekat. Rasanya propinsi Riau sudah wajib mengoperasikan water bomber untuk menghadapi perusakan lingkungan ini.

Mendekati Pekanbaru, saya yang belum pernah cross country mblusuk di negeri sendiri kebingungan entering Syarif Kassim, thanks God Faisal sudah pernah bermain-main saat airshow disini. Jadi ia yang membawa kami masuk Pekanbaru walaupun juga agak kebingungan namun ia menggunakan IFR (I Follow the River) untuk mencari ujung Syarif Kassim. Masuk Syarif Kassim bak Kabayan orang kampung masuk kota alias celingukan, tapi follow me car menyambut layaknya VVIP masuk apron, hehehe.

Di sini penyambutan lebih serem lagi karena kita merasa seperti pesawat Hawk mulai masuk Lanud sampai parkir di shelter Hawk. Seperti Palembang anggota Base Ops Lanud menyambut tim nekat ala Pd Cabe ini, apalagi Faisal sudah mengenal baik beberapa personel TNI-AU disini. Kami dijemput bus awak Hawk yang terasa agak aneh karena hanya mengangkut kami bertiga ke mess di Pangkalan. Tempatnya cukup nyaman dengan AC dan kasur busa. Sayang cuaca sudah agak gelap untuk jalan-jalan disini, karena sebetulnya saya ingin makan malam di kota

Faisal agak capek tampaknya sehingga kita tidur-tiduran setelah dapat makanan di kantin anggota Pangkalan. Malamnya ngalor-ngidul tentang medan perang Meulaboh besok berikut dengan menonton VCD Pak Gerhan Lantara yang dibawa Jun. Kami harus mengenali situasi Aceh karena belum pernah ada yang terbang ke Meulaboh, jadi Jun dilantik sebagai guide kami di kampungnya kelak. Malam itu juga saya kursus singkat memperdalam bahasa Aceh dengan dia, tentunya hanya bahasa yang “nggak beres”. Yang saya ingat hanya Jun pungo .

Pagi 18 April 2005 bangun jam 06.00 dan bergegas untuk ke shelter dan menyiapkan pesawat untuk leg ke Medan. Seperti biasa saya preflight dan Faisal ke BO untuk meminta situasi cuaca dijalan nanti. Kami sempat berfoto dengan personel setempat dan mereka melepas sampai pesawat lift off. Cuaca marginal VFR dan saya prepare untuk rely on GPS mengikuti W12 seperti yang diperintahkan tower, bau asap pembakaran lahan menyengat hidung karenanya kami berusaha untuk segera mencapai cruising altitude menghindari bau dan mencari kondisi VMC. Untunglah di atas cuaca lumayan bersih dari asap jadi perjalanan lebih nyaman.

Di perjalanan sampai ke Media intersection cuaca cukup memadai walaupun kewaspadaan harus dijaga, karena saya menengarai cuaca akan memburuk memasuki Medan. Kekhawatiran saya menjadi kenyataan selepas Media intersection, bumpy & downdraft mulai terasa dan mengocok isi perut. Dan agak tegang ketika kami di vectored untuk menghindari mountainous terrain sekitar MDN VOR, kami tetap berusaha dalam VMC dengan bantuan Medan director dan akhirnya sampai di Initial Fix MDN VOR. Kami tetap berpegang pada GPS, dan karena traffic padat maka incoming aircrafts ditumpuk holding di MDN VOR.

Setelah sempat di holding sekitar 20 menit pada 2.500’ dan pesawat imut kami dipersilahkan masuk oleh tuan rumah akhirnya sampai di Polonia. Hujan tak lama kemudian turun dan kami bersyukur dibimbingNya mendarat. Kembali saya celingukan karena “masuk rumah orang dan belum tahu kamar yang ditentukan”, sementara itu di radio penuh dengan gurauan tentang ukuran pesawat yang kata pilot DC10 Garuda “segede kutu” (dan nyaris busuk tadi). Yeah God was our pilot, di situasi inilah sangat terasa kekuasaanNya. Our thanks to Thy Wings.

Ada yang lucu ketika Polonia Tower terus menerus menanyakan posisi kami, mulai dari MDN VOR sampai final runway 05, karena visibility Marginal VFR. Rasanya mereka nanya posisi tiap jengkal kami bergerak. Anehnya ketika over the number belum juga diijinkan turun giliran kami yang mengingatkan posisi kami alias minta turun. Entah mungkin dipikirnya Jabiru adalah pesawat siluman yang tak kasat mata, sembari rolling di runway 05 mereka kembali terus menanyakan posisi kami, dannnnnn cilukbbaaaaaaaa kita depan kalian sekarang. “Kecil ya pesawatnya,” komentar mereka.

Setelah tower setempat terheran-heran dengan ukuran Jabiru yang mungil tapi berani menjelajahi Sumatera, giliran personel di apron D, B dan A. Juga tukang parkir Lanud Sawit, Polonia yang geleng-geleng kepala terus melihat kami tertawa kecut setelah dikocok tadi. Dan penumpang tercinta kita menyempatkan diri menguras isi perutnya setelah kejadian tadi. Seperti biasa personel TNI-AU setempat termasuk Mayor (Pnb) Budi menyambut kami dan langsung menyediakan data-data yang diperlukan di hanggar Base Ops. Tak lama “boss Arief” dan pak Bahtiar menemui kami.

Lelah dan penat terasa sekali walaupun demikian kami harus mempersiapkan leg terakhir yaitu ke Meulaboh, karena leg ini benar-benar mengandalkan semua informasi valid yang diberikan oleh semua pihak baik TNI-AU, maupun sejawat penerbang lain dari MAF dan SusiAir. Dan kemudian terbukti rute mereka mujarab untuk kami, yaitu Polonia-Point Papa-Tapak Tuan-Blang Pidie-Meulaboh yang harus menyelip dipegunungan Bukit Barisan dengan jelajah 8500-9500 kaki.

Rupanya penumpang kami Jun, trauma berat terbang terkocok jadi dia memilih naik travel ke Meulaboh malam itu juga, walaupun saya dan Faisal membujuknya tetap bersama kami. Setelah ia berangkat, kami istirahat dan ditraktir makan boss Arief di Pecinan Jl Semarang, Medan, yah sangat nikmat tentunya setelah long cross country tadi. Setelah itu acara kulo nuwun ke pejabat-pejabat setempat seperti Dan Lanud dan Ka Bandara sebagai tanda lapor diri pada beliau-beliau. Lalu acara berikut adalah tidur pulas setelah capek seharian suntuk di Bandara.

19 April keesokan paginya cuaca cerah sekali, visibility sekitar 15 km lebih jadi setelah preflight dan bertemu lagi dengan Dan Lanud yang kebetulan akan ke Meulaboh juga pagi itu, sekitar jam 07.00 kami lift off menyeberangi Bukit Barisan. Cuaca sangat bersahabat sangat berbeda dengan kemarin, sulit dipercaya bahwa kemarin buruk kondisi disini. Namun Arief yang turut dibelakang tampaknya agak gelisah. Saya menduga dia sindrom biological dire emergency dan parahnya ternyata Faisal juga terinfeksi. Situasi yang sulit dan kritis dalam Jabiru yang tidak memiliki lavatory ala wide body.

Saya memberikan saran untuk keduanya menggunakan tangki darurat yaitu botol Aqua isi 1,5 liter dan presto! wajah keduanya kembali cerah setelah merengut hampir setengah jam. Jadi perjalanan kita ceria lagi, apalagi pantai barat Aceh begitu cerah dan cantik terutama diatas daerah Tapak Tuan menyambut kami. Tampaknya akibat Tsunami tidak begitu parah disini, kerusakan tidak begitu berarti tampak dari atas. Berbeda sekitar pesisir Blang Pidie yang parah tergenang dan membekas sampai beberapa kilometer ke daratan.

Kami berusaha menghubungi pesawat yang ada disekitar kami pada frekuensi air to air yang diberikan oleh Steve dari MAF namun tampaknya tidak ada yang tune in disini, jadi langsung menghubungi Cut Nyak Dhien untuk traffic advisory. Komunikasi yang dihandle oleh tim Dallan dari Paskhas sangat jelas padahal mereka menggunakan portable radio bertenaga aki. Mas Budhi personel Paskhas di tower menawarkan low pass untuk familiarisasi dan melihat kondisi runway mengingat kami orang baru. Faisal menerima usul ini karena ia hobby low pass.

Low pass kami lakukan dan terlihat landasan yang baru diperbaiki seadanya karena tersapu air tsunami, jadi kami menandai lubang-lubang ditengah landasan. Traffic dari Banda dan helikopter yang sliweran sekitar Markas Kompi C Yonif 112 cukup ramai sehingga harus ekstra “melek”. Dibelakang kami ada Twin Otter PBB dari Banda dan Cessna Caravan MAF, beriringan di downwind untuk mendarat. Downwind berada diatas pantai memberikan pemandangan yang bagus karena cuaca disini hampir selalu cerah jadi penerbangan sangat menyenangkan.

Kami touchdown runway 33 Cut Nyak Dhien sekitar jam 09.00 dan kembali dipelototi banyak mata yang heran ada capung dari jauh yang nekat mendarat. Suasana ramai seperti tempat wisata Kuta dengan turisnya, walaupun loreng dimana-mana tetapi tetap santai. Tidak terasa sedang berada didaerah konflik dan ketika naik untuk kulo nuwun ke tower terlihat senjata, tenda, berikut binatang peliharaan anggota disana. Dan walaupun ditenda, logistik cukup banyak sampai mereka bosan dengan makanan yang melimpah walau Indomie.

Saya melapor diri dan juga menerangkan maksud kehadiran kami di Meulaboh serta rute penerbangan kembali besok ke Medan. Demikianlah penerbangan ini berakhir dan besok kembali ke Medan untuk mengantar Faisal pulang, kami menuju ke mess di Jl Nasional Meulaboh untuk beristirahat dan makan siang sambil membuat flight plan esok hari. Saya masih akan menunggu pak Samsul yang akan datang besok di Medan untuk bersama terbang di Meulaboh. Senang akhirnya kami dapat menyelesaikan penerbangan unik ini, unik karena baru kali ini swayasa dipergunakan untuk kegiatan kemanusiaan bencana alam sedahsyat tsunami Aceh.