Komite Nasional Keselamatan Transportasi hari ini menerbitkan laporan akhir mengenai kecelakaan pesawat MA-60 PK-MZK Merpati yang terjadi di Kaimana 1 tahun silam, pada 7 Mei 2011. Tidak begitu banyak perubahan mengenai temuan² yang dimuat tahun lalu. Kontroversi seputar kelayakan pesawat tersebut seharusnya sudah tidak menjadi pertanyaan utama setelah diumumkan bahwa penyebab kecelakaan ini ternyata lebih bersifat manusiawi, dan sangat tidak asing lagi... yaitu, melakukan visual approach dalam kondisi instrumental meteorological conditions.

Penerbangan tersebut berakhir dengan menghantam permukaan laut sekitar 800 meter dari runway 01, setelah gagal melakukan go-around, dan ke-25 orang dalam pesawat tersebut tewas seketika. Awak pesawat sebelumnya mencoba melakukan approach ke bandara Utarom, Kaimana, dikondisi hujan dengan jarak pandang hanya 2 kilometer dan ketinggian dasar awan hanya 1400 kaki. Bandara tersebut tidak memiliki prosedur instrument approach dan semua approach harus dilakukan secara visual dan memerlukan jarak pandang sedikitnya 5 kilometer. Bukannya holding atau mengalihkan penerbangan, awak pesawat malah mencoba untuk mendarat.
 
Ringkasan saat-saat terakhir:
Urutan akhir kejadian PK-MZK (Sumber: KNKT)

Pesawat jatuh di laut 800 meter dari landasan, dan terpecah menjadi 5 bagian besar dan pecahan² kecil yang mencapai ratusan. Pecahan pesawat yang tidak bisa mengambang tersebar di dasar laut di area sekitar 100 meter kali 200 meter, dan berada sekitar 7 hingga 15 meter dibawah permukaan air. Posisi landing gear lever ditemukan pada posisi naik, flap lever pada posisi naik, kedua power lever pada posisi depan, dan kedua engine condition lever pada posisi maksimum kedepan.

Go-around yang telat, hilangnya situational awareness, dan lemahnya CRM
Tim investigasi menemukan bahwa awak pesawat tidak melakukan approach briefing dan awak terlalu sibuk mencari landasan bandara dan ini dapat mengurangi kesadaran atas situasi (situational awareness), diperburuk dengan PIC (person-in-charge) mengambil alih kendali dari SIC (second-in-charge) tanpa penjelasan yang dianggap cukup. Ketika pesawat mencapai ketinggian untuk mengambil keputusan (minimum descent altitude/decision altitude/minimum altitude) di sekitar 500 kaki, approach tidak langsung dibatalkan tetapi PIC malah menanyakan kepada SIC sebanyak 3 kali apakah landasannya kelihatan atau tidak, sebelum akhirnya membatalkan approach. Semestinya pesawat langsung melakukan pembatalan pada ketinggian 500 kaki, tetapi aksi tersebut mengakibatkan pesawat sempat turun ke ketinggian 376 kaki, sebelum naik hinggak 585 kaki, lalu kemudian turun hingga jatuh dilaut.

Menurut tim investigasi, kegagalan pembatalan approach tersebut diakibatkan "hilangnya kesadaran atas situasi dikarenakan niat yang kuat bagi awak untuk menemukan landasan di kondisi jarak pandang yang buruk", dan diperburuk dengan penarikan flaps ke posisi "5" pada kecepatan yang rendah (dibawah kecepatan yang dibutuhkan untuk posisi tersebut, 135 knot).
 
 

Faktor² Penyebab dan Temuan:

 
  • Awak pesawat seharusnya tidak melakukan Visual Flight Rules approach dalam kondisi Instrument Meteorological Conditions.
  • Awak pesawat tidak melakukan approach briefing maupun approach checklist.
  • Tidak dilakukannya approach briefing sangat meningkatkan resiko dalam melakukan visual approach di kondisi yang tidak layak karena masing² awak tidak mempunyai rencana pelaksanaan approach yang sinkron.
  • Engine Regime Selector (ERS) tidak berada dalam pilihan TOGA sewaktu melaksanakan go-around maupun ketika approach (padahal merupakan bagian dari approach checklist), sehingga ketika melakukan go-around, torque mesin pesawat dibatasi pada 85.6% (untuk maximum cruise) dan bukan 106.3% (untuk TOGA atau Take-Off/Go-Around).
  • Awak pesawat kehilangan kesadaran atas situasi dengan mencari landasan lalu kemudian membatalkan approach.
  • Aksi awak pesawat dalam mengurangi flaps ke 5 lalu ke up, dengan tenaga mesin dibawah go-around power, dan sudut kemiringan yang terus bertambah hingga 38 derajat ke kiri, mengakibatkan pesawat turun dengan cepat hingga menabrak permukaan laut.
  • Kedua awak pesawat tidak memiliki pengalaman tinggi untuk tipe MA-60. PIC maupun SIC masing² memiliki kurang dari 250 jam terbang dengan MA-60 dan ini dianggap bisa menjadi faktor tambahan penyebab kecelakaan.
  • Adanya bukti kemungkinan timbulnya steep cockpit authority yang diakibatkan oleh kesenioritasan, mungkin menyebabkan kurangnya crew resource management.
  • Program pelatihan yang kurang atau tidak efektif dapat menyebabkan deviasi yang terjadi dari standard operating procedures dan regresi ke kebiasaan yang dilakukan di tipe pesawat sebelumya. "Flaps 25" dan penarikan flaps ke "5" dalam go-around sangat mencerminkan kebiasaan PIC dalam menerbangkan tipe pesawat sebelumnya, Fokker 100. Ini diperburuk dengan kurangnya pelatihan dalam tipe pesawat barunya, MA-60.
  • Tidak ditemukan bukti bahwa awak pesawat telah menerima pelatihan untuk EGPWS.
  • Manual² seperti FCOM dan Aircraft Maintenance Manual menggunakan bahasa Inggris penerbangan yang tidak standar (non-standard English Aviation Language). Meskipun ini bukan merupakan faktor penyebab langsung, tetapi tetap dapat menambahkan kebingungan pada hari itu.
  • Sistim Flight Operations Quality Assurance belum dijalankan di Merpati pada saat itu dan Merpati belum dapat menjalani Safety Management System secara efektif di semua tingkat manajemen pada saat itu.
  • DFDR (Digital Flight Data Recorder) yang digunakan tidak memenuhi kebutuhan  CASR 121.343 and 121.344 karena tidak merekam akselerasi lateral dan longitudinal (Chinese Civil Aviation Regulations 121 tidak memerlukan kedua parameter tersebut dalam peraturannya).
Sejak kecelakaan tersebut, KNKT melaporkan bahwa Direktorat Jendral Angkutan Udara telah mengaudit Merpati, dan bahwa Safety Management System telah berhasil diimplementasikan di semua tingkat manajemen Merpati. Merpati sendiri juga telah menerbitkan beberapa rekomendasi keselamatan internal sendiri akibat kecelakaan ini.
 
Namun, ini bukan pertama kalinya bagi Merpati...
Sebagai konsumen dan anggota masyarakat umum, saya tidak bisa mencegah kekhawatiran saya apakah perbaikan keselamatan di Merpati bisa terus bertahan. Kekhawatiran ini timbul karena 1 tahun sebelum kejadian PK-MZK, Merpati pun terkena kecelakaan yang diakibatkan penyebab yang sangat mirip, dimana pesawat Boeing 737-300 PK-MDE, melakukan visual approach ke bandara Rendani di Manokwari, dengan kondisi cuaca yang bersifat instrument meteorological consitions, dan akhirnya pesawat tersebut tergelincir dan keluar dari landasan dan patah. Meskipun tidak ada korban nyawa dalam kejadiant tersebut, pesawat tersebut harus di write-off, tapi, lagi², Visual Approach in Instrument Meteorological Conditions, apakah ini sudah menjadi penyakit kronis dalam Merpati?
 
Sumber²:
Press Release KNKT untuk Final Report PK-MZK (Bahasa Inggris)
Press Release KNKT untuk Final Report PK-MZK (Bahasa Indonesia)
Final Report KNKT untuk PK-MZK
Preliminary Report KNKT untuk PK-MDE
Tulisan asli ada di:
http://gerryairlines.blogspot.com/2012/05/laporan-akhir-knkt-mengenai-pk-mzk-di.html