Setiap terjadi kecelakaan penerbangan di Indonesia, perusahaan yang bersangkutan selalu berkilah bahwa kecelakaan terjadi karena cuaca buruk. Biarpun tak selamanya cuaca menjadi penyebab kecelakaan penerbangan tapi kejadian Adam Air KI172 di Surabaya bisa jadi disebabkan oleh cuaca. Salah satu kemungkinan yang ada adalah terjadi windshear atau angin yang berubah arah dan kecepatan dalam waktu yang singkat. Angin yang berubah mendorong pesawat ke bawah dengan kecepatan dan kekuatan yang lebih besar dari kemampuan pesawat.

Hal ini terjadi jika sebuah awan hujan yang terkenal dengan nama Cb (Cumulonimbus) terbentuk di dekat bandara dan mempengaruhi angin lokal yang ada disekitar bandara. Di ketinggian awan ini harus dihindari karena mengandung badai/thunderstorm yang sangat kuat.

Dalam dunia penerbangan thunderstorm ini diberi peringkat (kategori) dari 1 sampai 5. Peringkat 5 thunderstorm adalah badai yang paling kuat yang secara normal tidak bisa dilalui oleh sebuah pesawat. Di negara maju penerbang selalu mendapat laporan peringkat thunderstorm dari badan meteorology setempat untuk menghindari bahaya yang mungkin terjadi.

Awan Cumulonimbus yang dapat digunakan sebagai indikator adanya thunderstorm dan turbulence terbentuk dalam 3 tahap. Tahap pertama adalah tahap Cumulus. Dalam tahap ini awan terbentuk keatas makin tinggi dengan gaya yang disebut updraft.

Gaya ke atas awan ini dapat mencapai tinggi 20 ribu kaki atau sekitar 6 ribu meter. Jika dasar awan berada pada ketinggian 20 ribu kaki maka puncak awan tersebut dapat mencapai 40 ribu kaki. Untuk perbandingan pesawat Boeing 737-300 hanya bisa terbang sampai ketinggian 37 ribu kaki dan Airbus A319 bisa sampai 41 ribu kaki. Sehingga ada kemungkinan pesawat tidak dapat menghindarinya dengan cara terbang di atas awan tersebut. Diameter lebar dari awan ini dapat mencapai 5 mil atau sekitar 7km. Tahap ini berakhir kurang lebih dalam 15 menit.

Tahap kedua adalah tahap mature atau dewasa. Awan akan mulai mengeluarkan hujan. Pada tahap ini selain ada gaya updraft/ke atas juga ada gaya downdraft ke bawah yang datang bersama air hujan. Jika gaya ini terjadi di dekat permukaan tanah maka dapat mengakibatkan apa yang disebut microburst. Sedangkan tahap ke3 adalah dissipating atau menghilang.

Jika microburst terjadi di sekitar bandara maka akan sangat berbahaya bagi pesawat yang akan mendarat karena dapat menimbulkan perbedaan arah dan kecepatan angin yang di sebut windshear.

Dalam skenario ini pesawat yang sedang terbang turun mendekati bandara mengalami updraft sehingga ketinggiannya bertambah dan biasanya penerbang secara reflek alamiah akan menurunkan pesawat agar tetap berada pada lintasan yang benar. Tapi hal ini diikuti dengan downdraft yang mengakibatkan pesawat lebih turun lagi ke bawah lintasan yang seharusnya. Pesawat akan terdorong ke bawah.

Dalam hal penerbangan KI172 kemungkinannya adalah pesawat mengalami downdraft pada saat hampir mendarat.

Hal yang paling berbahaya dari downdraft ini adalah kecepatannya yang dapat mencapai 6000 kaki per menit, sementara kemampuan pesawat sekelas Boeing 737 terbang naik (climbing) dalam keadaan tidak penuh pun paling hanya 4000 kaki per menit.

Jika hal ini terjadi yang dapat dilakukan penerbang hanyalah mempertahankan konfigurasi pesawat dan menambah tenaga dorong (thrust) kepada daya maksimum.

Mengenali windshear

Setiap penerbang komersial di Indonesia sudah seharusnya mendapat training mengenali tanda-tanda dasar adanya microburst yang menghasilkan windshear. Antara lain adanya awan Cb di sekitar bandara dan laporan dari penerbang lain yang melakukan pendaratan. Sayangnya pengamatan visual adanya awan Cb kadangkala sulit dilakukan karena awan Cb ini berada di dalam awan lain (embedded). Dalam situasi ini hanya radar cuaca yang dapat mengenali thunderstorm di depan pesawat, sehingga mungkin salah satu tugas KNKT adalah memeriksa jika radar cuaca di KI172 bekerja dalam keadaan baik. Sehingga tidak memberikan data yang salah pada penerbangnya. Sebagai tambahan biasanya radar cuaca dapat menampilkan keadaan cuaca sampai 40 mil di depan pesawat.

PIREP atau pilot report juga sangat membantu untuk mengenali windshear. Setiap pilot yang melihat awan Cb diharapkan melaporkan pada menara pengatur dan kemudian diteruskan kepada badan meteorologi untuk diolah lebih lanjut.

Di negara dengan cuaca seperti Indonesia seharusnya setiap bandar udara memiliki perangkat LLWAS (Low Level Windshear Alert System). Perangkat ini memantau kecepatan angin di beberapa titik di sekitar bandar udara. Jika ada perbedaan kecepatan dan arah angin dari sensor yang berbeda maka sistem ini akan memberi peringatan kepada menara pengendali lalulintas udara untuk selanjutnya diteruskan pada penerbang.

Dengan alat ini kemungkinan kecelakaan akibat windshear akan sangat kecil karena bukan hanya peringatan akan adanya windshear yang diterima pilot tapi juga kekuatan angin dan posisinya. Contohnya jika menara pengawas mengatakan “RUNWAY 28 ARRIVAL MICROBURST ALERT 30 KNOT LOSS 3 MILE FINAL”, maka penerbang akan bersiap-siap untuk kehilangan 30 knot kecepatannya sekitar 3.8 km sebelum mendarat. Pesawat jet saat ini biasanya mendekati landasan dengan kecepatan 120 sampai 150knot (220-277kpj).